Tuesday, April 10, 2007

TI 14: Penghalang Dalam Mengenal Allah

Penghalang Dalam Mengenal Allah

Meskipun demikian, manusia tetaplah manusia dengan segala sifat baik dan buruk yang terdapat dalam dirinya. Bagi mereka yang dapat memenejemen dirinya mengikuti sifat baiknya, maka hal ini tidak akan menjadi masalah. Namun manakala mereka mengikuti sifat buruk dalam dirinya, tentulah hal ini dapat menjadi penghalang dalam menempuh jalan menuju pengenalan terhadap Allah . Secara garis besar terdapat beberpa hal (yang harus kita hindari) yang menghalangi manusia untuk mengenal Allah, diantaranya adalah:
1. Kefasikan (الفسق)
Fasik adalah orang yang senantiasa melanggar perintah dan larangan Allah, bergelimang dengan kemaksiatan serta senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Sifat seperti ini akan menghalangi seseorang untuk mengenal Allah . Allah menggambarkan mengenai sikap fasik ini dalam (QS. 2 : 26 – 27):

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ* الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ*
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”

2. Kesombongan (الكبر)
Kesombongan merupakan suatu sikap dimana hati seseorang ingkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah, dan mereka tidak beriman kepada Allah . Allah berfirman (QS. 16 : 22):

إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.”

3. Kedzaliman (الظلم)
Sifat kedzaliman merupakan sifat seseorang yang menganiaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap orang lain, ataupun terhadap ayat-ayat Allah . Mengenai sifat ini, Allah berfirman dalam (QS. 32 : 22):

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.”

4. Kedustaan (الكذب)
Kedustaan merupakan sikap bohong dan pengingaran. Dalam hal ini adalah membohongi dan mengingkari ayat-ayat Allah . Allah berfirman QS. 2 : 10

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

5. Banyak melakukan perbuatan maksiat (dosa) (كثرة المعاصي)
Allah berfirman (QS. 83 : 14):
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”

6. Kejahilan/ kebodohan (الجهل)
Allah berfirman (QS. 29 : 63) :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya).”

7. Keragu-raguan (الإرتياب)
Allah berfirman dalam (QS. 22 : 55) :

وَلاَ يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً أَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَقِيمٍ
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat. Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.”

8. Penyimpangan (الإنحراف)
Allah berfirman (QS. 5 : 13):

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

9. Kelalaian (الغفلة)
Allah berfirman dalam (QS. 7 : 179):

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

TI 15: TAUHIDULLAH (Mengesakan Allah)

Tauhidullah

Tauhidullah berarti mengesakan Allah , dari segala apapun yang ada di dunia ini. Dan secara garis besar, tauhid dibagi menjadi tiga bagian; pertama Tauhid Rububiyah. Kedua; Tauhid Mulkiyah, dan Ketiga; Tauhid Uluhiyah.

1. Tauhid Rububiyah.
Dari segi bahasa, Rububiyah berasal dari kata rabba yarubbu (ربّ - يربّ) yang memiliki beberapa arti, yaitu : ( المربي /al-Murabbi) Pemelihara, ( النصير/al-Nashir) Penolong, ( الملك /al-Malik) Pemilik, ( المصلح / al-Muslih) Yang Memperbaiki, ( السيد /al-Sayid) Tuan dan ( الولي / al-Wali) Wali.
Sifat rububiyah bagi Allah merupakan sifat Allah sebagai Maha Pencipta, Maha Pemilik, dan Maha Pengatur seluruh alam. Dalam tauhid ini, kita diminta untuk mengesakan Allah sebagai Pencipta yang telan mencipta segala sesuatu dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Hanya Allah-lah yang memberikan rizki dan hanya Allah lah sebagai Penguasa yang menguasai seluruh alam ini.
Menurut fungsinya, tauhid rububiyah pada Dzat Allah terbagi menjadi tiga:

a) Allah sebagai Pencipta (خالقا)
Allah berfirman (QS. 2 : 21-22):

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ*
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

b) Allah sebagai Pemberi rizki (رازقا)
Allah berfirman (QS. 51 : 57-58):

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ* إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ*
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”

c) Allah sebagai Pemilik (مالكا)
Allah berfirman (QS. 284) :
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Tauhid rububiyah ini merupakan landasan bagi seluruh kaum muslimin untuk bersyukur kepada Allah . Karena pada hakekatnya dalam menempuh kehidupan dunia, mereka senantiasa bertemu dengan ciptaan Allah, dengan pemberian rizki dari Allah dan juga menggunakan segala ‘fasilitas’ miliki Allah . Mereka tidak mungkin lari dari kenyataan ini.

2. Tauhid Mulkiyah.
Dari segi bahasa, mulkiyah berasal dari kata malika yamliku (ملك - يملك), yang artinya memiliki dan berkuasa penuh atas yang dimiliki. Sedangkan dari segi istilahnya adalah mengesakan Allah sebagai satu-satunya penguasa, pemimpin, satu-satunya pembuat hukum (aturan) dan pemerintah. Tauhid mulkiyah pada Allah meliputi
a) Allah sebagai pemimpin (وليا)
Allah berfirman (QS. 7 : 196):

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.”

Dalam ayat lain Allah menggambarkan (QS. 18 : 50)

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاّ إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.”

b) Allah sebagai pembuat hukum/ undang-undang (حاكما)
Allah berfirman (QS. 6 : 57):

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. “

c) Allah sebagai pemerintah/ yang berhak memerintah (آمرا)
Allah berfirman (QS. 7 : 54)
بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”

3. Tauhid Uluhiyah.
Uluhiyah berasal dari kata Aliha ya’lihu, (أله - يأله) artinya menyembah. Sedangkan dari segi istilah adalah mengesakan Allah dalam penyembahan/ peribadahan. Tauhid uluhiyah pada Allah ini mencakup tiga hal:
a) Allah sebagai tujuan (غاية)
Allah berfirman (QS. 6 : 162):
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

b) Allah sebagai Dzat yang kita mengabdikan diri pada-Nya (معبودا)
Allah berfirman (QS. 109: 1-6)
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ* لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ* وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ * وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ* وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ* لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ*
“Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Dengan mentauhidkan Allah melalui tiga bentuknya ini, insya Allah akan membawa kita untuk menjadikan Allah sebagai:

1. (ربا مقصودا)
Rab yang menjadi tujuan segala amalan dan aktivitas kita, baik yang bersifat ibadah ataupun muamalah, bersifat individu maupun secara bersama-sama. Karena tiada tujuan lain dalam hidup kita selain hanya Allah dan Allah.

2. (ملكا مطاعا)
Penguasa yang senantiasa kita taati segala undang-undang dan aturan hukum yang Allah berikan kepada kita, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam sunnah Rasulullah SAW.

3. (إلها معبودا)
Tuhan yang senantiasa kita sembah, di mana tiada sesembahan lain dalam hati kita, dalam fikiran kita dan dalam jasad kita selain hanya untuk pengabdian kepada Allah .

Penutup
Dengan mengenal Allah , kita akan lebih dapat untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya secara baik dan benar. Karena pemahaman yang baik akan mengantarkan pada amalan yang baik. Amalan yang baik akan mengarah pada hasil yang baik. Dan hasil yang baik, insya Allah akan mendapatkan keridhaan Allah . Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang benar-benar mentauhidkannya dalam segenap aspek kehidupan kita. Dan kita berlindung kepada-Nya dari kemusyrikan-kemusyrikan, baik yang kita sadari ataupun yang tidak kita sadari…
اللهم إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه

Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc. M.Ag.

Bahan Bacaan

Azzam, Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Al-Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia. Tanpa tahun. Yogyakarta : Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawir.
Al-Qardhawi, Yusuf. Wujudullah (Silsilah Aqa’id al-Islam I). 1990 – 1410. Cet. III. Kairo – Mesir : Maktabah Wahbah.
Kelompok Studi Islam Al-Ummah Jakarta. Aqidah Seorang Muslim. 1994. Jakarta : Nidzam Press.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 13: CARA MENGENAL ALLAH

Cara Untuk Mengenal Allah

Untuk menuju tujuan tertentu, tentulah diperlukan cara atau metode yang telah tertentu pula. Metode yang baik dan benar akan dapat mengantarkan kita pada hasil yang baik dan benar pula. Demikian juga sebaliknya, cara atau metode yang salah, akan membawa kita pada hasil yang salah pula. Dan secara garis besar, terdapat dua cara untuk mengenal Allah . Pertama, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyah. Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.

Pertama : Melalui ayat-ayat qauliyah.
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah yang difirmankan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek yang dapat menunjukkan kita untuk lebih mengenal dan meyakini Allah . Sebagai contoh, Allah berfirman dalam (QS. 88: 17 – 20), dimana Allah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat menghujam lubuk hati seorang insan yang paling dalam, untuk membenarkan keberadaan Allah Yang Maha Pencipta:

أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ* وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ*
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

Contoh lain adalah bagaimana Allah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tiada jawaban yang dapat mereka berikan melainkan hanya kesaksian mengenai Keagungan, Kebesaran dan Kekuasaan Allah . Allah berfirman (QS. 27 : 60 – 66)

أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ * أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ *أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ * أَمَّنْ يَهْدِيكُمْ فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ* أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ * بَلِ ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ فِي اْلآخِرَةِ بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْهَا بَلْ هُمْ مِنْهَا عَمُونَ*
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar". Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”

Selain dua contoh di atas, masih banyak sekali contoh-contoh lain yang dapat mengantarkan kita untuk dapat mengenal dan lebih mengenal Allah lagi.

Kedua : Melalui ayat-ayat kauniyah
Ayat-ayat kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada ciptaan-Nya, baik yang berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di dalam lautan, di jagad raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya, ketika manusia merenungkan segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna ini, akan membawa pada pengenalan dan pengesaan (baca; pentauhidan) terhadap Allah . Allah berfirman dalam QS. 67 : 3 – 4:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ* ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”

Bahkan dalam ayat lain, Allah seolah memberikan tantangan kepada orang yang tidak mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan ciptaan-ciptaan selain-Nya. Allah mengatakan (QS. 31 : 11)

هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.”

Pada intinya adalah bahwa sesungguhnya segala apa yang ada di bumi, di langit, di jagad raya, juga di dalam diri kita sendiri, merupakan tanda-tanda kebesaran Allah . Tanda-tanda tersebut demikian banyaknya hingga dapat dikatakan tak terbilang. Hanya karena keterbatasan kitalah, kita tidak mampu untuk menghitung ayat-ayat Allah tersebut. Berikut adalah diantara ayat-ayat kauniyah yang dapat mengenalkan kepada Allah :
1. Fenomena adanya alam.
Jika terdapat sesuatu yang sangat indah dan mempesona, maka pastilah ada yang membuatnya. Sebagai contoh, ketika kita melihat ada sebuah rumah yang sangat bagus dan indah. Tentulah rumah tersebut ada yang membangunnya. Karena tidak mungkin, rumah itu ada dan berdiri sendiri dengan kebetulan, tanpa ada yang menciptakannya. Demikian juga dengan alam yang sangat indah ini, dengan berbagai siklus alamnya yang demikian sempurna. Ada sinar matahari yang tidak membakar kulit, ada oksigen yang kadar dan komposisinya sangat sesuai dengan manusia, ada air yang merupakan sumber kehidupan, ada pepohonan, ada hewan, ada bakteri dan demikian seterusnya. Sesungguhnya hal seperti itu merupakan tanda-tanda yang jelas mengenai Allah . Bila ciptaan-Nya saja begitu indah dan sempurna, maka apatah lagi dengan Penciptanya.? Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 3 : 190):

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”

Kita dapat membayangkan, sekiranya dunia ini tidak diselimuti oleh atmosfer, atau tiada pepohonan yang mengeluarkan oksigen, atau tiada penawar kotoran seperti lautan, atau hal-hal lain yang menyeimbangkan siklus perputaran kehidupan di dunia? Barangkali kita semua saat ini sudah punah. Belum lagi jika kita menengok ke angkasa raya, di mana seluruh planet berserta gugusan bintang-bintang, semua berjalan sesuai dengan ‘jalurnya’ masing-masing. Sehingga tiada yang saling bertabrakan satu dengan yang lainnya. Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul, siapakan yang dapat mengatur segalanya dengan sangat teliti, sempurna dan tiada cacat? (Biarkanlah relung hati kita yang paling dalam untuk menjawabnya sendiri..)

2. Fenomena kehidupan dan kematian
Kehidupan dan kematian juga merupakan salah satu tanda kebesaran Allah . Di mana hal ini ‘memaksa’ manusia untuk berfikir keras tentang fenomena hidup dan mati. Jika seluruh makhluk itu hidup dan kemudian mati, tentulah di sana terdapat Dzat yang Menghidupkan dan Mematikan. Jika seseorang, Allah kehendaki untuk mati, maka apapun yang dilakukan untuk menolongnya akan menjadi sia-sia. Demikian juga dengan fenomena kehidupan; terkadang seseorang yang telah terfonis ‘mati’ oleh medis, ternyata dapat dan mampu bertahan hidup hingga beberapa tahun ke depan. Dan menyikapi hal seperti ini, manusia terpaksa harus mengakui ‘kekerdilannya’, meskipun tekhnologi canggih telah mereka kuasai. Namun mereka sama sekali tidak kuasa menghadapi fenomena ini. Mereka akhirnya harus mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Karena pada-Nyalah kita semua akan kembali. Mengenai hal ini Allah berfirman (QS. 2 : 28)

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”

TI 12: Urgensi Ma’rifatullah

Urgensi Ma’rifatullah

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa orang yang mengenal Allah, ia akan memahami hakekat kehidupannya. Oleh karenanya ia tidak akan mudah silau dan tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia. Allah berfirman (QS. 51:56) mengenai tujuan hidup manusia di dunia:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Berikut adalah beberpa poin penting mengenai urgensi (baca; ahamiyah) ma’rifatullah:
1. Tidak akan tertipu oleh kemilaunya kehidupan dunia.
Allah berfirman (QS. 6 : 130):

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”

2. Karena Allah adalah Rab semesta alam.
Allah berfirman (QS. 13 : 16):

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لاَ يَمْلِكُونَ لأَفُسِهِمْ نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".

3. Karena wujud (eksistensi) dan keberadaan Allah didukung oleh dalil-dalil yang kuat:
a) Dalil Naqli (tekstual)
Allah berfirman (QS. 6 : 19):

قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لاَ أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".

b) Dalil Akal
Allah berfirman (QS. 3 : 190):

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأََرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُولِي الألَبْاَبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”

c) Dalil Fitrah
Allah berfirman (QS. 7 : 172):
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

4. Memiliki manfaat atau faidah yang banyak:
Dengan mengenal Allah secara baik dan benar, maka secara langsung atau tidak langsung akan lebih mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Dan jika kita dekat dengan Allah, maka Allah pun akan dekat pula dengan kita. Hal ini merupakan hal yang paling pokok bagi seorang hamba. Karena bagi dirinya orientasinya hanya lah Allah dan Allah. Tiada kebahagiaan hakiki baginya, selain cinta Ilahi. Namun di samping itu terdapat hal-hal positif lainnya dengan adanya ma’rifatullah ini, diantaranya adalah:
a) Kebebasan (الحرية)
Allah berfirman (QS. 6 : 82)

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

b) Ketenangan (الطمأنينة)
Allah berfirman (QS. 13 : 28)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

c) Barakah (البركة)
Allah berfirman (QS. 7 : 96):

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

d) Kehidupan yang baik (الحياة الطيبة)
Allah berfirman (QS. 16 : 97)

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

e) Syurga (الجنة)
Allah berfirman (QS. 10 : 25-26)

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”


f) Mardhatillah. (مرضاة الله)
Allah berfirman (QS. 98 : 8)

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”

TI 11: MA’RIFATULLAH (Mengenal Allah)

بسم الله الرحمن الرحيم

MA’RIFATULLAH
معرفة الله

Muqadimah
Mengenal Allah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Karena dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya sendiri. Dengan mengenal Allah seseorang juga akan dapat memahami menegenai hakekat keberadaannya di dunia ini; untuk apa ia diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang insan di muka bumi. Dengan lebih mengenal Allah, seseoran juga akan memiliki keyakinan bahwa ternyata hanya Allah lah yang Maha Pencipta, Maha Penguasa, Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan lain sebagainya. Sehingga seseorang yang mengenal Allah, seakan-akan ia sedang berjalan pada sebuah jalan yang terang, jelas dan lurus.
Sebaliknya, tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda kegelisahan dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami hakekat kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain sebagainya. Seakan akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak tentu dan berkelok. Dalam Al-Qur’an Allah menggambarkan (QS. 6 :122) :
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”

TI 10: HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SYAHADAT

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SYAHADAT

Terdapat hal-hal yang dapat membatalkan syahadat yang telah kita ikrarkan di hadapan Allah . Uzt. Said Hawa menyebutkannya ada 20 bentuk. Berikut adalah beberapa hal yang dapat membatalkan syahadat kita, yang memiliki konsekwensi kekufuran kepada Allah:

1. Bertawakal dan bergantung pada selain Allah.
Allah berfirman (QS. 5 : 23):
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah lah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

2. Bekerja/ beraktivitas dengan tujuan selain Allah.
Karena sebagai seorang muslim, seyogyanya kita memiliki prinsip: (QS.6:162)

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”

3. Membuat hukum/ perundangan selain dari hukum Allah
Allah berfirman (QS. 5 : 57):

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”

4. Menjalankan hukum selain hukum Allah
Allah berfirman (QS. 5 : 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barang siapa yang tidak menughukum dengan apa yang telah ditirunkan Allah (Al-Qur’an), maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”

5. Lebih mencintai kehidupan dunia dari pada akhirat.
Allah berfirman (QS. 14 : 2-3):

اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيدٍ * الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ بَعِيدٍ*
“Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.”

Dalam ayat lain Allah berfirman (QS. 9 : 24) :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

6. Mengimani sebagian ajaran Islam dan mengkufuri (baca; tidak mengimani) sebagian yang lain.
Allah berfirman (QS. 2 : 85):

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”

7. Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
Allah berfirman (QS. 5: 51):
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Penutup
Pada intinya, jika seseorang memahami dan mengetahui dengan baik apa yang terkandung dalam kalimat syahadat, tentulah mereka akan dapat memiliki keimanan dan komitmen yang tinggi kepada Allah, yang dapat mengantarkannya pada derajat ketaqwaan sebagaimana para sahabat Rasulullah SAW. Barangkali kualitas keimanan kita yang rendah adalah karena kurangnya pemahaman yang utuh mengenai kalimat ini. Sehingga meskipun sering diucapkan lisan, namun belum dapat diterjemahkan dalam kehidupan rill sehari-hari.
Dengan memahami kembali makna syahadat beserta hal-hal lain yang terkait dengan dua kalimat ini, semoga dapat menjadikan keimanan dan keislaman kita lebih baik lagi. Wajar, jika terdapat beberapa hal yang masih kurang dalam keimanan kita. Karena kita adalah manusia dengan segala kekurangan yang kita miliki. Oleh karena itulah, marilah kita memperbaiki hal-hal tersebut dengan yang lebih baik lagi. Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.

Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.




Bahan Bacaan


Azzam, Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb, Muhammad. La Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan. 1996. Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 8: SYARAT DITERIMANYA SYAHADAT

SYARAT DITERIMANYA SYAHADAT

Melihat makna syahadat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata syahadat bukanlah merupakan hal sepele yang ringan diucapkan oleh lisan. Namun syahadat memiliki konsekwensi yang demikian besarnya di hadapan Allah . Oleh karena itulah, kita melihat para sahabat Rasulullah SAW yang langsung memiliki perubahan yang besar dalam diri mereka, setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Berkenaan dengan hal ini, kita perlu melihat sejauh mana batasan-batasan yang dapat menjadikan syahadat kita dapat diterima oleh Allah .

Para ulama memberikan beberapa batasan, agar syahadat seseorang dapat diterima. Diantaranya adalah:

1. Didasari dengan ilmu (العلم المنافي للجهل)
Yaitu (pengetahuan) tentang makna yang dikandung dalam syahadat, dengan pengetahuan yang menghilangkan rasa ketidaktahuan tentang syahadat yang akan diucapkannya itu. Allah berfirman (QS. 47 : 19) :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”

2. Didasari dengan keyakinan (اليقين المنافي للشك)
Artinya seseorang ketika mengucapkan syahadat, tidak hanya sekedar didasari rasa tahu bahwa tiada tuhan selain Allah, namun rasa ‘tahu’ tersebut harus menjadi sebuah keyakinan dalam dirinya bahwa memang benar-benar hanya Allah Rab semesta alam. Allah berfirman (QS. 49 : 15):
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”

3. Didasari dengan keikhlasan (الإخلاص المنافي للشرك)
Keyakinan mengenai keesaan Allah itupun harus dilandasi dengan keikhlasan dalam hatinya bahwa hanya Allah lah yang ia jadikan sebagai Rab, tiada sekutu, tiada sesuatu apapun yang dapat menyamainya dalam hatinya. Keiklasana seperti ini akan menghilangkan rasa syirik kepada sesuatu apapun juga. Allah berfirman (QS. 98 : 5):

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

4. Didasari dengan kejujuran (الصدق المنافي للكذب)
Persaksian itu juga harus dilandasi dengan kejujuran, artinya apa yang diucapkannya oleh lisannya itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam hatinya. Karena jika lisannya mengucapkan syahadat, kemudian hatinya meyakini sesuatu yang lain atau bertentangan dengan syahadat itu, maka ini merupakan sifat munafik. Allah berfirman (QS. 2 : 8 – 9):

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ* يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ*
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”

5. Didasari dengan rasa cinta/ keridhaan (المحبة المنافية للبغض والكراهة)
Maknanya adalah bahwa seseorang harus memiliki rasa kecintaan kepada Allah dalam bersyahadat. Karena dengan adanya rasa cinta ini, akan dapat menghilangkan rasa kebencian kepada Allah dan al-Islam. Allah berfirman (QS. 2 : 165):

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”

6. Didasari dengan rasa penerimaan (القبول المنافي للرد)
Syahadat yang diucapkan juga harus diiringi dengan rasa penerimaan terhadap segala makna yang terkandung di dalamnya, yang sekaligus akan menghilangkan rasa “ketidak penerimaan” terhadap makna yang dikandung syahadat tersebut. Allah berfirman (QS. 33 : 36):
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

7.Didasari Rasa Kepatuhan (الإنقياد المنافي للإمتناع والترك وعدم العمل)
Didasari dengan rasa kepatuhan (terhadap konsekwensi syahadat).
Terakhir adalah bahwa syahadat memiliki konsekwensi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Oleh karenanya seorang muslim harus patuh terhadap segala konseksensi yang ada, yang sekaligus menghilangkan rasa ‘ketidakpatuhan’ serta keengganan untuk tidak melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulullah SAW. Allah berfirman (QS. 24 : 51):

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”


Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


Bahan Bacaan


Azzam, Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb, Muhammad. La Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan. 1996. Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 7: ARTI KATA SYAHADAT

ARTI KATA SYAHADAT

Ditinjau dari segi bahasa, sedikitnya terdapat tiga arti dari kata syahadat, ketiga makna tersebut adalah :

1. Pernyataan (الإعلان/ الإقرار)
Mengenai makna ini, Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an (QS. 3 : 18) :

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Seseorang yang bersyahadat, berarti ia telah menyatakan sesuatu, sesuai dengan apa yang dinyatakannya. Dalam hal ini seseorang menyatakan bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwanya Muhammad adalah utusan Allah.

2. Sumpah (القسم / الحلف)
Allah berfirfirman (QS. 24 : 6):

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”

Seseorang yang bersyahadat, maka ia sesungguhnya telah menyatakan diri dengan bersumpah, bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

3. Perjanjian (العهد / الوعد)
Allah berfirman (QS. 2 : 84) :

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لاَ تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلاَ تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.”

Seorang yang bersyahadat, sesungguhnya ia telah berjanji kepada Allah untuk mentauhidkannya (tiada tuhan selain Allah), demikian juga berjanji untuk menjadikan nabi Muhammad adalah benar-benar utusan Allah, yang harus ia ikuti.

Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


Bahan Bacaan

Azzam, Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb, Muhammad. La Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan. 1996. Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 6: URGENSI SYAHADATAIN

URGENSI SYAHADATAIN

Dari sinilah, kita dapat memetik urgensi (baca ; ahamiyah) dari syahadat. Dan terdapat beberapa urgensi syahadat penting lainnya. Diantaranya adalah:

1. Pintu Gerbang Masuk Ke Dalam Islam (مَدْخَلٌ إِلَى اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat merupakan pintu gerbang masuk ke dalam Islam.
Karena pada hakekatnya, syahadat merupakan pemisah seseorang dari kekafiran menuju Iman. Artinya dengan sekedar mengucapkan syahadat, seseorang telah dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Demikian pula sebaliknya, tanpa mengucapkan syahadat, seseorang belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim, kendatipun baiknya orang tersebut.
Dalam syahadat seseorang akan mengakui bahwa hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang mengatur segala sesuatu yang ada di jagad raya, termasuk mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan mengutus seorang rasul yang ditugaskan untuk membimbing umat manusia, yaitu nabi Muhammad .

2. Intisari Dari Ajaran Islam (خُلاَصَةُ تَعَالِيْمِ اْلإِسْلاَمِ)
Syahadat merupakan intisari dari ajaran Islam.
Karena syahadat mencakup dua hal: Pertama konsep la ilaha ilallah; merealisasikan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah , baik yang dilakukan secara pribadi maupun secara bersamaan (berjamaah). Dari sini akan melahirkan keikhlasan kepada Allah . Kedua, konsep Muhammad adalah utusan Allah, mengantarkan pada makna bahwa konsep ini menjadi konsep yang mengharuskan kita untuk mengikuti tatacara penyembahan kepada Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah . Atau dengan kata lain sering disebut dengan ittiba’.

3. Dasar Perubahan (أَسَاسُ اْلإِنْقِلاَبِ)
Syahadat merupakan dasar perubahan total, baik pribadi maupun masyarakat.
Karena syahadat dapat merubah kondisi suatu masyarakat, bangsa dan negara secara menyeluruh, dengan sentuhan yang sangat dalam yaitu dari dalam tiap diri insan. Karena jika seseorang dapat berubah, maka ia akan menjadi perubah yang akan merubah masyarakatnya. Allah berfirman dalam (QS. 13 : 11) :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum, hingga mereka mau merubah diri mereka sendiri.”

4. Hakekat da’wah Rasulullah . (حَقِيْقَةُ دَعْوَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
Syahadat merupakan hakekat da’wah Rasulullah .
Karena pada hekekatnya da’wah Rasulullah adalah da’wah untuk menegakkan dua hal; yaitu mentauhidkan Allah. Dan kedua menggunakan metode Rasulullah dalam merealisasikan ibadah kepada Allah .

5. Keutamaan yang Besar (فَضَائِلٌ عَظِيْمَةٌ)
Syahadat memiliki keutamaan yang besar.
Diantaranya keutamaanya adalah sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ النَّارَ
“Dari Ubadah bin al-Shamit, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah akan mengharamkam neraka baginya”. (HR. Muslim)

Bahan Bacaan

Azzam, Abdullah. Al-Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ al-Jail. 1991 – 1411. Cet I. Kairo – Mesir : Dar al-Isra’.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam. Terj. 1998. Cet. I. Jakarta : Robbani Press & Al-Manar.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Quthb, Muhammad. La Ilaha Ilallah Sebagai Aqidah, Syari’ah, dan Sistem Kehidupan. 1996. Cet. I. Terj. Jakarta : Robbani Press.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 5: Memahami Syahadatain - Pembukaan

بسم الله الرحمن الرحيم

MEMAHAMI ASYSYAHADATAIN
التعريف بالشهادتي

MUQADIMAH
Syahadat merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, yang akan menentukan perjalanan kehidupannya. Dengan syahadat, orientasi duniawi (baca; materiil) akan berubah menjadi orientasi ukhrawi yang secara langsung atau tidak dapat merubah tujuan dan perjalanan hidup seseorang. Dan dengan syahadat ini pulalah, Rasulullah mengubah kondisi masyarakat Arab, dari kehidupan yang jahili menuju kehidupan yang Islami.
Syahadat membawa perubahan mendasar dalam jiwa setiap insan. Syahadat merubah kondisi masyarakat dari akarnya yang paling bawah; yaitu dari sisi relung hatinya yang paling dalam. Ketika hati telah berubah, maka segala gerak gerik, tingkah laku, pola pikir, kejiwaan dan segala tindak tanduk akan berubah pula.
Namun tentulah untuk dapat mewujudkan perubahan seperti itu, harus terlebih dahulu memahami hakekat yang terkandung dalam kalimat yang membawa perubahan itu. Para sahabat, yang mereka semua sebagian besar orang Arab, sangat memahami makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sehingga ketika mereka mengucapkannya, merekapun mengetahui dan memahami konsekwensi yang bakal mereka terima dari ucapannya. Oleh karena itulah, tidak sedikit kasus adanya penolakan dari mereka untuk mengucapkan kalimat tersebut. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan akan dapat mengatakan sepuluh kalimat, asalkan bukan kalimat yang satu itu.

TI 4: Karakteristik Islam

Karakteristik Islam

Sebagai agama terakhir yang sempurna, Islam memiliki karakteristik (baca; khasa’ish) yang membedakannya dengan agama-agama yang terdahulu. Diantara karakteristik Islam adalah:

Pertama : Robbaniyah (الربانية)
Karakter pertama dinul Islam, adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat robbaniyah, yaitu bahwa sumber ajaran Islam, pembuat syari’at dalam hukum (baca; perundang-undangan) dan manhajnya adalah Allah , yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik melalui Al-Qur’an maupun sunnah. Allah berfirman QS. 32 : 1-3:

الم * تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لاَ رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ*
Alif Laam Miim. Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: "Dia Muhammad mengada-adakannya". Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.

Dengan karakteristik ini, Islam sangat berbeda dengan agama manapun yang ada di dunia pada saat ini. Karena semua agama selain Islam, adalah buatan manusia, atau paling tidak terdapat campur tangan manusia dalam pensyariatannya.

Kedua : Syumuliyah / universal (الشمولية)
Artinya bahwa karakteristik Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menyentuh segenap dimensi, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dsb. Mengatur manusia dari semenjak bangun tidur hingga tidur kembali. Merambah pada pensyariatan dari semenjak manusia dilahirkan dari perut ibu, hingga ia kembali ke perut bumi, dan demikian seterusnya. Perhatikan firman Allah dalam QS. 2 : 208.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengemukakan:
“Islam adalah sistem yang syamil ‘menyeluruh’ mencakup semua aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.”

Ketiga : Tawazun/ Seimbang (التوازن)
Karakter ketiga agama Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang tawazun (seimbang). Artinya Islam memperhatikan aspek keseimbangan dalam segala hal; antara dunia dan akhirat, antara fisik manusia dengan akal dan hatinya serta antara spiritual dengan material, demikian seterusnya. Pada intinya dengan tawazun ini Islam menginginkan tidak adanya ‘ketertindasan’ satu aspek lantaran ingin memenuhi atau memuaskan aspek lainnya, sebagaimana yang terdapat dalam agama lain. Seperti tidak menikah karena menjadi pemuka agamanya, atau meninggalkan dunia karena ingin mendapatkan akhirat. Konsep Islam adalah bahwa seorang muslim yang baik adalah seorang muslim yang mempu menunaikan seluruh haknya secara maksimal dan merata. Hak terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, terhadap istri dan anaknya, terhadap tetangganya dan demikian seterusnya.

Keempat : Insaniyah (الإنسانية)
Karakter yang keempat adalah bahwa Islam merupakan agama yang bersifat insaniyah. Artinnya bahwa Islam memang Allah jadikan pedoman hidup bagi manusia yang sesuai dengan sifat dan unsur kemanusiaan. Islam bukan agama yang disyariatkan untuk malaikat atau jin, sehingga manusia tidak kuasa atau tidak mampu untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam sangat menjaga aspek-aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga dari sini, Islam tidak hanya agama yang seolah dikhususkan untuk para tokoh agamanya saja (baca ; ulama). Namun dalam Islam semua pemeluknya dapat melaksanakan Islam secara maksimal dan sempurna. Bahkan bisa jadi, orang awam akan lebih tinggi derajatnya di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena dalam Islam yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.

Kelima : Al-Adalah / Keadilan (العدالة)
Karekteristik Islam berikutnya, bahwa Islam merupakan agama keadilan, yang memiliki konsep keadilan merata bagi seluruh umat manusia, termasuk bagi orang yang non muslim, bagi hewan, tumbuhan atau makhluk Allah yang lainnya. Keadilan merupakan inti dari ajaran Islam, apalagi jika itu menyangkut orang lain. Allah berfirman: (QS. 5 : 8)

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Berbuat adillah kalian, karena keadilan itu dapat lebih mendekatkan kalian pada ketaqwaan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian kerjakan.”

Inilah beberapa karakteristik terpenting dari agama Islam. Di luar kelima karakteristik ini, sesungguhnya masih banyak karakteristik Islam lainnya. Kelima hal di atas hanyalah sebagai contoh saja.

Penutup
Inilah sekelumit informasi mengenai Al-Islam, yang tidak lain dan tidak bukan adalah agama yang benar-benar bersumber dari Allah , yang tiada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya. Islam merupakan agama sempurna yang menyempurnakan agama-agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya sendiri.
Tiada jalan bagi kita semua melainkan hanya menjadikan Islam sebagai pegangan hidup dalam segala hal, dalam beribadah, bermuamalah, berpolitik, berekonomi, berpendidikan, bersosial dan lain sebagainya. Kebagahian merupakan hal yang insya Allah akan dipetik, oleh mereka-mereka yang memiliki komitmen untuk melaksanakan Islam secara kaffah, sebagaimana para pendahulu-pendahulu kita. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamab-Nya yang baik. Amiin.
Wallahu A’lam Bishowab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


Bahan Bacaan



Hadiri, Khairuddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Cet. V – 1996 / 1417 H. Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan, Abdul Karim. Ushul al-Da’wah. Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon : Mu’assasatur Risalah.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 3: Mengenal keuniversalan Islam

Keuniversalan Islam

Islam merupakan pedoman hidup yang universal, yang mencakup segala aspek kehidupan manusia dalam semua dimensi waktu, tempat dan sisi kehidupan manusia.

1. Mencakup seluruh dimensi waktu
Artinya bahwa Islam bukanlah suatu agama yang diperuntukkan untuk umat manusia pada masa waktu tertentu, sebagaimana syariat para nabi dan rasul yang terdahulu. Namun Islam merupakan pedoman hidup yang abadi, hingga akhir zaman. Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 21:107):

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Rahmat bagi semesta alam artinya bagi seluruh makhluk Allah di muka bumi ini sepanjang masa. Rasulullah sendiripun diutus sebagai nabi dan rasul terakhir yang ada di muka bumi, yang menyempurnakan syariat nabi-nabi terdahulu. Allah berfirman (QS. 33 : 40)

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sebagai nabi dan rasul terakhir berarti tidak akan ada lagi nabi dan rasul yang lain yang akan menasakh (menghapus) syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah lakukan terhadap syariat para nabi dan rasul yang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa risalah nabi Muhammad merupakan risalah abadi hingga akhir zaman.

2. Mencakup seluruh dimensi ruang
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan pedoman hidup yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan geografis tertentu, seperti hanya disyariatkan untuk suku atau bangsa tertentu. Namun Islam merupakan agama yang disyariatkan untuk seluruh umat manusia, dengan berbagai bangsa dan sukunya yang berbeda-beda. Allah berfirman (QS. 34 :28)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”

Dari ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk orang Arab secara khusus, namun juga untuk orang Eropa, Rusia, Asia, Cina dan lain sebagainya.

3. Mencakup semua sisi kehidupan manusia.
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan pedoman hidup manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan tidak hanya agama yang mengatur peribadahan saja sebagaimana yang banyak difahami oleh kebanyakan manusia pada saat ini. Sesungguhnya Islam mencakup seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia, diantaranya adalah:

a. Peribadahan
QS. 51 : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

b. Akhlak (Etika/ Tata krama/ Budi Pekerti)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak/ moral.”
(HR. Ahmad)

c. Ekonomi
QS. 59 : 7
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.“

d. Politik
QS. 5 : 51
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ. إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

e. Sosial
QS. 5 : 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

f. Pendidikan
QS. 31 : 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Wallahu A’lam Bishowab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


Bahan Bacaan



Hadiri, Khairuddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Cet. V – 1996 / 1417 H. Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan, Abdul Karim. Ushul al-Da’wah. Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon : Mu’assasatur Risalah.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

TI 2: Mengenal Islam

Mengenal Islam
Dari segi bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.
الإسلام مصدر من أسلم يسلم إسلاما
Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan asal katanya, Islam memiliki beberapa pengertian, diantaranya adalah:
1. Berasal dari ‘salm’ (السَّلْم) yang berarti damai.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman (QS. 8 : 61)

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian. Dalam sebuah ayat Allah berfirman : (QS. 49 : 9)

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Sebagai salah satu bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah bahwa Islam baru memperbolehkan kaum muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 22 : 39)

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.”

2. Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ) yang berarti menyerah.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah . Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya. Menunjukkan makna penyerahan ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: (QS. 4 : 125)

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya. Dalam sebuah ayat Allah berfirman: (QS. 6 : 162)

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah , dengan mengikuti sunnatullah-Nya. Allah berfirman: (QS. 3 : 83) :

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.”

Oleh karena itulah, sebagai seorang muslim, hendaknya kita menyerahkan diri kita kepada aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah . Karena insya Allah dengan demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang (baca; mutma’inah).

3. Berasal dari kata istaslama–mustaslimun (اسْتَسْلَمَ - مُسْتَسْلِمُوْنَ): penyerahan total kepada Allah .
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 37 : 26)

بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ
“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.”

Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah . Dimensi atau bentuk-bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah adalah seperti dalam setiap gerak gerik, pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain sebagainya hanya kepada Allah . Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah dan menggunakan manhaj Allah . Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 2 : 208)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.

4. Berasal dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ) yang berarti bersih dan suci.
Mengenai makna ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 89):

إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Dalam ayat lain Allah mengatakan (QS. 37: 84)
إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakekatnya, ketika Allah mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalah karena tujuan utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia. Allah berfirman: (QS. 5: 6)

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah sesungguhnya tidak menghendaki dari (adanya syari’at Islam) itu hendak menyulitkan kamu, tetapi sesungguhnya Dia berkeinginan untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

5. Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ) yang berarti selamat dan sejahtera.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: (QS. 19 : 47)

قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.

Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan juga keselamatan pada setiap insan.

Adapun dari segi istilah, (ditinjau dari sisi subyek manusia terhadap dinul Islam), Islam adalah ‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum/ aturan Allah yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.’

Definisi di atas, memuat beberapa poin penting yang dilandasi dan didasari oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara poin-poinnya adalah:
1. Islam sebagai wahyu ilahi (الوَحْيُ اْلإِلَهِي)
Mengenai hal ini, Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

2. Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah ) (دِيْنُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ)
Membenarkan hal ini, firman Allah (QS. 3 : 84)

قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."

3. Sebagai pedoman hidup (مِنْهَاجُ الْحَيَاةِ)
Allah berfirman (QS. 45 : 20)
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Al Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.

4. Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
(أَحْكَامُ اللهِ فِيْ كِتَابِهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ)
Allah berfirman (QS. 5 : 49-50)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

5. Membimbing manusia ke jalan yang lurus. (الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ)
Allah berfirman (QS. 6 : 153)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”

6. Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.(سَلاَمَةُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ)
Allah berfirman (QS. 16 : 97)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Wallahu A’lam Bishowab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


Bahan Bacaan


Hadiri, Khairuddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Cet. V – 1996 / 1417 H. Jakarta : Gema Insani Press.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam. (Terj. Oleh Abu Ridha dan AR Shaleh Tamhid) Cet. I – 2000. Jakarta : Al-I’tisham Cahaya Umat.
Zaidan, Abdul Karim. Ushul al-Da’wah. Cet. V – 1996/ 1417 H. Beirut – Libanon : Mu’assasatur Risalah.
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah Ulama’ al-Islam; Dr. Yusuf al-Qardhawi ; al-Fiqh wa Ushulih. Al-Markaz al-Handasi lil Abhas al-Tatbiqiyah.
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.

Wednesday, April 4, 2007

Tarbiyah Islamiyah: Akhlaq Islami

بسم الله الرحمن الرحيم

AKHLAQ ISLAMI
الأخلاق الإسلامية


Muqadimah

Ketika Islam belum datang sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia, bangsa Arab sangat dikenal dengan kejahiliyannya. Kejahiliyahan tersebut akan sangat terasa benar, manakala kita mencoba melihatnya dari sisi moralitas (baca; akhlak). Keburukan apakah yang dapat menandingi dengan moral seorang ayah, yang dengan tega dan rasa jijik, mengubur hidup-hidup anaknya sendiri. Kejelekan apa yang melebihi dari pada terjadinya perzinaan pada seorang istri, atas perintah sang suaminya sendiri? Namun ternyata hal tersebut dianggap merupakan sesuatu yang sangat wajar pada zamannya.

Di sinilah, Islam datang merubah kondisi yang sangat bejat, menjadi berputar ke arah yang posistif seratus delapan puluh derajat. Karena sesungguhnya Islam datang, memang membawa misi untuk merubah kondisi jahiliyah yang ada, menjadi kondisi Islami. Adapun moralitas, adalah merupakan implementasi dari kondisi mental seseorang atau masyarakat pada suatu waktu tertentu. Baik buruknya moral seseorang, atau moral suatu bangsa, sangat terkait dengan mental orang atau bangsa tersebut. Mengenai misi ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه أحمد والبزار)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Ahmad dan al-Bazar).

Sebagai seorang muslim, kitapun memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri kita. Dan dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan akhlak kita, akan terfokus pada hal-hal yang sangat urgen. Diantaranya adalah; akhlak terhadap Allah, akhlak seorang muslim terhadap dirinya sendiri, akhlak terhadap orang tuanya, akhlak terhadap keluarga & kerabat, akhlak terhadap saudara seiman, dan akhlak terhadap tetangga & masyarakatnya.

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Allah

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.

Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.

Diantara akhlak terhadap Allah adalah:

1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah , adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا َيَجِدُوْا فيِ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا*
“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim kepada Allah . Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ (رواه ابن أبي عاصم الشيباني في السنة)
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah). (HR. Abi Ashim al-syaibani).

2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah , adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah . Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (HR. Muslim)

3. Ridha terhadap ketentuan Allah .
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah , adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُسْلِمِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal erbaik bagi dirinya. (HR. Bukhari)

Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.

4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah . Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :

وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ، وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّ وْاعَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنً* أُوْلَئِكَ جَزَاءُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَنِعْمَ أَجْرُ اْلعَامِلِيْنَ*
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.

5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah , akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah . Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ النَّاسِ، وَمَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ (رواه الترمذي والقضاعي وابن عساكر)
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia. (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).

Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.

6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah . Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah . Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ*
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hukum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.

7. Bannyak membaca al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah , tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَأُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya. (HR. Muslim)

Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat. (Mutafaqun Alaih)

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Dirinya Sendiri

Paling tidak, seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Siapapun dia, seorang muslim tentu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa setiap muslim harus menunaikan etika dan akhlak yang baik terhadap dirinya sendiri, sebelum ia berakhlak yang baik terhadap orang lain. Dan ternyata hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin.

Secara garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi tiga bagian; terhadap fisiknya, terhadap akalnya dan terhadap hatinya. Karena memang setiap insan memiliki tiga komponen tersebut, dan kita dituntut untuk memberikan hak kita terhadap diri kita sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya tersebut:

1. Terhadap Fisiknya

Setiap insan, Allah berikan anugerah berupa fisik yang sempurna. Kesempurnaan fisik manusia ini, Allah katakan sendiri dalam Al-Qur’an (QS. 95 : 4)

لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Kesempurnaan fisik ini, merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Karena Allah hanya memberikannya pada manusia. Adapun salah satu cara dalam mensyukurinya adalah dengan menunaikan hak yang harus diberikan pada fisik kita tersebut, yang sekaligus merefleksikan etika kita terhadap fisik kita sendiri. Diantara hal tersebut adalah:

1. Seimbang dalam mengkonsumsi makanan.
Hak yang harus kita penuhi terhadap fisik kita adalah dengan memberikan makanan dan minuman yang baik dan sehat, sehingga fisik kita pun dapat tumbuh dan bekerja dengan baik dan sehat pula. Seorang muslim sangat menyadari hal ini, dan oleh karenanya ia tidak akan menkonsumsi makanan yang akan memberikan madharat terhadap dirinya tersebut. Dan termasuk dalam kategori yang memberikan mudharat adalah mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Islam sendiri telah memberikan larangan kepada para pemeluknya untuk berlebihan dalam menkonsumsi makanan. Allah berfirman (QS. 7 : 31)
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bahkan memberikan rincian batasan dalam masalah mengkonsumsi makanan. Beliau mengatakan:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، فَإِذَا كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَاعِلاً، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ (رواه أحمد والترمذي)
Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya. Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk dirinya.
(HR. Ahmad & Turmudzi)

2. Membiasakan diri untuk berolah raga & hidup teratur.
Islam sangat menginginkan terciptanya kondisi yang baik dan teratur bagi para pemeluknya. Bekerja teratur, makan teratur, tidur teratur, belajar teratur dan juga berolah raga secara teratur. Sebagai contoh menyegerakan tidur dan juga menyegerakan bangun. Tidak tidur ba’da subuh, tidak tidur ba’da ashar dan lain sebagainya.
Di samping itu, Islam juga menganjurkan pada pemeluknya untuk menjaga fisik dengan membiasakan diri berolah raga. Agar diri seorang mu’min menjadi kuat dan sehat. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:

المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ (رواه مسلم)
Seorang mu’min yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu’min yang lemah. (HR. Muslim)

Jika fisik kaum muslimin kuat, tentulah hal ini akan dapat menggetarkan para musuh-musuh Islam, yang tiada henti-hentinya membuat makar terhadap agama Allah ini. Oleh karenanya kita melihat betapa Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan kita. Dan olah raga merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan tersebut. Allah berfirman (QS. 8 : 60)

وَأَعِدُوْا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ تَعْلَمُهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dapat menggentarkan musuh Allah , musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.

3. Tidak melakukan hal-hal yang memberikan madharat bagi fisik dan kesehatannya.
Terkadang manusia senang untuk melakukan hal-hal tertentu yang terlihat menyenangkan dan mengenakkan meskipun hal tersebut akan menimbulkan madharat terhadap dirinya sendiri. Diantara tersebut antara lain, berlebihan dalam menkonsumsi kopi atau teh, tidur terlalu larut malam dan merokok. Hal yang terakhir disebut (yaitu rokok) bahkan sudah seperti menjadi “kebiasaan wajib” bagi orang tertentu. Sementara jika dilihat dari aspek syar’inya, rokok merupakan sesuatu yang melanggar syar’i dan hukumnya haram, kecuali menurut sebagian ulama di Indonesia yang cenderung berfatwa bahwa hukumnya adalah makruh. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagaian besar ulama di Indonesia masih belum mampu meninggalkan kebiasaan rokoknya.

Terdapat beberapa tinjauan dalam menegaskan bahwa rokok secara hukum adalah haram. Diantaranya adalah :

a. Merokok merusak kesehatan (Yadhurru Linafsih)
Semua orang sepakat, bahwa rokok akan memiliki dampak negatif terhadap fisik manusia. Terlebih-lebih jika ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau kedokteran, rokok memiliki dampak yang begitu besar dalam diri insan yang akan menyebabkan berbagai penyakit. Perokok sendiri akan mengakui hal tersebut. Dan jika demikian, seseorang ketika ia merokok berarti ia memberikan kemadharatan atau merusak bagi dirinya sendiri. Sementara Allah berfirman (QS. 4 : 29)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

b. Merokok mendzolimi orang lain (Dzalim)
Selain merusak atau merugikan terhadap diri sendiri, rokok juga dapat merugikan atau mendzalimi orang lain yang tidak merokok. Sebab asap rokok yang dihisap perokok tentu akan dikeluarkan lagi. Dan asap inilah yang memiliki potensi untuk dihisap secara langsung melalui nafas orang lain (baca; perokok pasif) yang berada di sekitarnya, yang bisa jadi akan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Jika hal ini terjadi, berarti perokok ‘mendzlimi’ orang lain yang tidak merokok. Dan Allah sangat membenci orang-orang yang dzalim. Allah berfirman (QS. 42 : 40)

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim."

c. Merokok memiliki unsur menghambur-hamburkan harta (Tabdzir)
Selain dua tinjauan di atas, rokok juga mengandung unsur menghambur-hamburkan uang (baca’ tabdzir). Hampir semua kalangan sepakat, bahwa rokok merupakan salah satu bentuk perbuatan yang mubadzir, karena banyak hal yang lebih bermanfaat dari pada digunakan untuk rokok, seperti membantu fakir miskin, shadaqoh kepada kerabat, atau digunakan untuk membeli makanan yang menambah kesehatan, seperti susu, buah-buahan dan lain sebagainya. Dan jika merokok merupakan salah satu perbuatan tabdzir, maka alangkah kerasnya Allah menegur orang-orang yang menghambur-hamburkan uang. Allah berfirman (QS. 17 : 27 ) :

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا* إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا*
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

4. Bersih fisik dan pakaian.
Etika seorang muslim terhadap dirinya yang berikutnya adalah membersihkan fisik dan juga pakaiannya. Karena fisik kita memiliki hak untuk dibersihkan dan memakai pakaian yang bersih. Dalam masalah bersih fisik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Bersih mulut dan gigi.
Islam sangat menganjurkan kebersihan gigi dan mulut. Karena kedua hal ini merupakan hal yang akan sangat berkaitan dengan orang lain. Ketika gigi dan mulut kita tidak bersih bahkan bau, maka pasti akan memiliki pengaruh negatif terhadap orang yang menjadi lawan bicaranya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الشيخان)
“Sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari Muslim).

Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW menerangkan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari ketidak bersihan mulut dan gigi. Beliau mengatakan:

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثَّوْمَ وَالْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرِبَنَّ مَسْجِدَنَا هَذَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّي مِمَّا يَتَأَذَّي مِنْهُ بَنُو آدَمَ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan yang sebangsa bawang, maka hendaknya mereka jangan mendekati masjid kami ini. Karena sesungguhnya para malaikat ‘terganggu’ dengan baunya tersebut, sebagaimana terganggunya anak cucu adam.” (HR. Muslim)

b) Bersih rambut.
Selain mulut dan gigi, Islam juga menganjurkan kita agar senantiasa membersihkan rambut. Karena rambut juga memiliki hak untuk dibersihkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang memiliki rambut, maka hendaklah ia memuliakan rambutnya tersebut.” (HR. Abu Daud)

Adapun cara untuk memuliakan rambut, diantaranya adalah dengan senantiasa membersihkannya, menyisirnya yang rapi serta merawatnya. Dalam sebuah riwayat Imam Malik, Rasulullah SAW suatu ketika sedang berada dalam masjid. Kamudian tiba-tiba masuklah seorang pemuda yang rambut dan jenggotnya acak-acakan. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkannya dengan isyarat agar ia membersihkan rambut dan jenggotnya tersebut. Pemuda itupun kembali pulang, lalu kembali ke masjid dalam keadaan rambut dan jenggotnya yang telah tersisir rapi. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW mengatakan, ‘bukankah yang demikian lebih baik, dari pada seseorang datang ke masjid dalam kondisi rambut dan jenggotnya acak-acakan, seperti syaitan?’

c) Bersih badan.
Hal ini terbukti dengan diperintahkannya kita untuk senantiasa membersihkan diri kita dengan mandi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berasbda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ، وَاغْسِلُوْا رُؤُوْسَكُمْ وَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا جُنُبًا وَأَصِيْبُوْا مِنَ الطَّيِّبِ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Mandilah kalian pada hari jum’at. Bersihkanlah kepala kalian, meskipun tidak sedang junub. Dan sentuhlah dengan wewangian. (HR. Bukhari)

d) Bersih pakaian.
Jasad atau fisik kita, juga memiliki hak untuk mendapatkan pakaian yang bersih dan sehat. Pakaian disamping untuk menutupi aurat, namun juga menjaga dirinya dari penyakit-penyakit yang terkait dengan pakaian, seperti gatal-gatal, jamur dan lain sebagainya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرًا فَرَأَى رَجُلاً عَلَيْهِ ثِيَابُ وَسْخَةٍ، فَقَالَ مَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يَغْسِلُ ثَوْبَهُ؟ (رواه أحمد والنسائى)
Dari Jabir ra, beliau berkata, suatu ketika rasulullah SAW berziarah mengunjungi kami. Lalu beliau melihat seseorang yang memakai pakaian yang kotor. Beliau berkata, ‘Tidakkah ada yang dapat menyucikan bajunya?’ (HR. Ahmad dan Nasa’I)

e) Berpenampilan rapi
Berpenampilan rapi juga merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sehingga seseorang akan terlihat terhormat di mata orang lain. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang berpergian mendatangi saudara mereka, Rasulullah SAW mengatakan:

إِنَّكُمْ قَادِمُوْنَ عَلَى إِخْوَانِكُمْ، فَأَصْلِحُوْا رِحَالَكُمْ وَأَحْسِنُوْا لِبَاسَكُمْ (رواه أبو داود)
Kalian akan tiba mendatangi saudara kalian. Oleh karena itu, rapikanlah bawaan kalian dan rapikanlah pula pakaian kalian. (HR. Abu Daud)

Berpenampilan rapi seperti ini juga merupakan sunnah para sahabat. Bahkan terkadang ada diantara mereka yang membeli pakaian yang relatif mahal, untuk kemudian digunakannya. Seperti Ibnu Abbas pernah membeli pakaian seharga seribu dirham, lalu beliau mengenakannya. (Hilyatul Aulia’ I/ 321). Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf, yang pernah memakai burdah seharga lima ratus atau empat ratus (Thabaqat Ibnu Sa’d III/131). Dan berpenampilan rapi serta mengenakan paiakan yang baik, sesungguhnya tidak identik dengan kesombongan. Karena kesombongan adalah mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.

2. Terhadap Akalnya.

Sebagaimana fisik, akal memiliki hak yang harus kita tunaikan. Akal juga membutuhkan ‘makanan’, sebagaimana fisik membutuhkannya. Namun kebutuhan tersebut jelas berbeda dengan kebutuhan fisik. Oleh karenanya, kita perlu memberikan porsi kepada kita, sebagaimana kita memberikannya pada fisik.

Berikut adalah diantara hal-hal yang harus kita tunaikan terhadap akal kita:

1. Menuntut ilmu sebagai kewajiban dan kemuliaan bagi setiap muslim
Hal pertama yang harus kita lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya adalah dengan mengisinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Karena disamping sebagai suatu kewajiban, belajar juga merupakan kemuliaan tersendiri bagi dirinya. Karena Allah senantiasa akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 35 : 28):
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Bahwasanya orang-orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama (orang yang berilmu)”

Kemuliaan ini juga telah terwujud, meskipun ketika ia baru dalam proses belajar guna menuntut ilmu sendiri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:

جَاءَ صَفْوْانٌ بْنُ عَسَّالٍ الْمَرَادِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ، فَقَالَ "مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ تَحُفُّهُ الْمَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ (رواه أحمد والطبراني وابن حبان والحاكم)
“Suatu ketika Safwan bin Assal al-Maradi mendatangi Rasulullah SAW yang sedang berada di masjid. Safwan berkata, Ya Rasulullah SAW, aku datang untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW menjawab, ‘selamat datang penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu akan dikelilingi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka berbaris, sebagian berada di atas sebagian malaikat lainnya, hingga sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap penuntut ilmu.” (HR. Ahmad, Tabrani, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)

2. Menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Terkadang manusia sering puas, manakala telah mencapai tingkatan tertentu dalam dunia pendidikan. Padahal sesungguhnya dalam Islam bahwa proses belajar mengajar merupakan proses yang tiada mengenal kata henti. Karena pada hakekatnya semakin seseorang mendalami ilmu pengetahuan, maka semakin pula ia merasa kurang dan kurang. Salah seorang salafuna shaleh bernama ibnu Abi Gassan – sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abdil Bar – berkata :

لاَ تَزَالُ عَالِمًا مَا كُنْتَ مُتَعَلِّمًا، فَإِذَا اسْتَغْنَيْتَ كُنْتَ جَاهِلاً
Engkau akan tetap menjadi orang yang berilmu, manakala senantiasa masih mencari ilmu. Namun apabila engkau telah merasa cukup, maka jadilah dirimu orang yang bodoh.”

3. Yang harus dipelajari oleh setiap muslim.
Minimal sekali, setiap muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim (yang bukan spesialisasi syari’ah) adalah : Al-Qur’an, baik dari segi bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain sebagainya.

4. Spesialisasi.
Namun demikian, setiap muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah, namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.

5. Mempelajari bahasa asing
Mempelajari bahasa asing juga merupakan suatu kebutuhan yang penting. Apalagi manakala bahsa tersebut merupakan bahasa resmi dalam ilmu pengetahuan seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab, untuk bidang keislaman. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ، يَا زَيْدٌ تَعَلَّمْ لِي كِتَابَ يَهُوْدَ، فَإِنِّيْ وَاللهِ مَا آمَنُ يَهُوْدِى عَلَى كِتَابِي، فَقاَلَ زَيْدٌ فَتَعَلَّمْتُهُ فَمَا مَضَى لِيْ نِصْفَ شَهْرٍ حَتَّى حَذَقْتُهُ، فَكُنْتُ أَكْتُبُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَتَبَ إِلَيْهِمْ، وَأَقْرَأُ كِتَبَهُمْ إِذَا كَتَبُوْا إِلَيْهِ (رواه الترمذي)
Dari Zaid bin Tsabit ra, bahwa Rasulullah SAW berkata padanya, ‘Wahai Zaid, pelajarilah untukku tulisan Yahudi. Karena sesungguhnya aku demi Allah tidak yakin tulisanku pada orang yahudi.’ Zaid mengatakan, lalu aku mempelajarinya. Dan belum genap setengah bulan berlalu, aku telah dapat menguasai bahasa Yahudi. Aku senantiasa menulis surat Rasulullah SAW, ketika beliau ingin menujukannya pada mereka. Akupun membacakan surat mereka pada Rasulullah SAW. (HR. Turmudzi)

3. Terhadap Hatinya/ Ruhiyahnya.

Hati juga merupakan unsur penting dalam diri setiap insan, yang memiliki hak yang sama sebagaimana akal dan fisik. Hati membutuhkan makanan sebagaimana akal dan fisik membutuhkannya. Oleh karena itulan, setiap muslim dituntut untuk memberikan porsi yang sama terhadap ruhiyahnya sebagaimana ia telah memberikan pada fisik dan akalnya.

Berikut adalah beberapa hal yang patut direalisasikan seorang muslim terhadap ruhiyahnya.

1. Mengisi ruhiyahnya dengan ibadah.
Ibadah merupakan makanan pokok bagi hati dan ruhiyah kita. Bahkan makanan ruhiyah ini tidak memiliki batasan kuantitas. Semakin banyak ibadah seseorang, semakin ia rindu untuk melaksanakan ibadah lainnya. Semakin ia dekat dengan Allah, semakin ia ingin lebih dekat dan dekat lagi. Berbeda dengan makanan fisik, dimana paling banyak seseorang dapat memakan dua sampai tiga piring untuk sekali makannya. Makanan ruhiyah ini akan dapat membersihkan hati dan menentramkan jiwa. Seseorang yang memiliki kualitas ibadah yang baik, ia akan senantiasa merasa tenang, sejuk dan damai. Ibadah-ibadah yang harus dilakukannya, selain yang wajib adalah yang sunnah. Diantaranya adalah, memperbanyak membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, shalat lail, shadaqah, mendatangi majlis-majlis ilmu, tafakur alam dan lain sebagainya.

2. Mengikatkan diri dengan tempat-tempat dan teman yang menambah keimanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah mengatakan, bahwa kadar keislaman seseorang itu, seperti kadar keislaman teman akrabnya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang akan dijadikan temannya.” (HR. Turmudzi & Abu Daud). Karena teman dan lingkungan memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap kadar keimanan seseorang. Orang yang bergaul dengan teman-temannya yang shaleh, maka sedikit banyak akan mempengaruhi dirinya untuk menjadi orang shaleh. Demikian juga sebaliknya, jika ia berteman dengan mereka-mereka yang suka mabok-mabokan, judi dan lain sebagainya, maka sedikit banyak ia akan terpengaruh dan akan terbawa pada kebiasaan teman-temannya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 18 : 28) :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ، وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan menharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

3. Memperbanyak dzikir kepada Allah .
Dzikir merupakan penguat ruhiyah seorang muslim yang sangat efektif. Dzikir juga secara langsung dapat menentramkan jiwa pembacanya. Bahkan dengan dzikir inilah, yang membedakan apakah hati seseorang itu hidup atau mati. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (رواه البخاري)
Dari Abu Musa ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari)

Oleh karenanyalah, setiap muslim seyogyanya senantiasa membiasakan diri dengan dzikir kapanpun dan dimanapun mereka berada. Minimal sekali, dzikir-dzikir pengiring aktivitas tertentu, seperti dzikir hendak makan, sesudah makan, mau tidur, ke kamar mandi dan lain sebagainya. Dzikir akan lebih baik lagi manakala kita membiasakan membaca dzikir-dzikir pagi dan petang, sebagaimana yang sering dibaca oleh Rasulullah SAW.

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Orang tuanya

Orang tua merupakan orang yang paling dekat dan paling prioritas kita perlakukan secara baik di dunia ini. Apalagi jika kita ingin mencoba untuk mengupas satu persatu kebaikan mereka, tentulah kita akan sulit untuk membalasnya. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, hendaknya kita balas dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka. Jangan sampai sebagai seorang anak, kita durhaka kepada mereka. Apalagi jika kita mengingat bahwa durhaka kepada orang tua merupakan dosa kedua terbesar dalam Islam.

Berikut adalah berapa moralitas seorang muslim yang harus dipenuhi dalam berinteraksi terhadap kedua orangtuanya:

1. Berbuat baik terhadap kedua orang tua.
Diantara sifat utama seorang muslim adalah berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Karena berbakti terhadap orang tua merupakan salah satu sifat yang paling diperhatikan oleh Islam. Hal ini terbukti bahwa Islam menjadikan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa terbesar setelah menyekututkan Allah. Oleh karena itulah, setiap muslim mendapatkan perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 4 : 36)

وَاعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklak kepada dua orang ibu bapak..”

2. Mengetahui ‘keutamaan’ mereka berdua, serta apa yang wajib dilakukan terhadap mereka berdua. Karena sesungguhnya Islam mengangkat derajat kedua orang tua pada tingkatan yang sangat tinggi dalam sejarah kehidupan manusia. Dimana Allah menjadikan berbuat baik terhadap mereka berdua sebagai derajat tertinggi dalam beribadah, setelah ibadah kepada Allah . Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 17 : 23)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا، إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا* وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا*
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di atantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak merreka dan ucapkanlakh kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan pneuh kesangayanga dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana merreka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Ayat di atas sangat jelas memberikan batasan kepada kita, bagaimana seharusnya berinteraksi dengan kedua orang tua. Terutama pada saat-saat mereka telah memasuki usia lanjut, yang terkadang segala tindakan mereka menyebabkan munculnya kejengkelan terhadap mereka. Namun Islam dengan tegas memberikan perintah untuk tetap harus berbuat baik terhadap mereka berdua. Bahkan Islam melarang, walaupun untuk sekedar mengatakan “ah”, kepada meraka berdua. Islam memerintahkan untuk menggunakan tutur kata yang baik dan sopan kepada keduanya, apapun kondisinya.

3. Berbuat baik terhadap orang tua, meskipun mereka bukan muslim.
Bahkan sekiranya kita memiliki orang tua yang bukan muslim sekalipun, kita tetap harus menunaikan kewajiban kita terhadap mereka berdua. Tetap harus berbuat baik kepada mereka, harus bertutur kata yang sopan santun dan penuh kelembutan dan juga harus tetap taat kepada mereka berdua, selagi tidak dalam perbuatan melanggar perintah Allah . Dalam sebuah riwayat dikatakan:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (رواه البخاري)
Dari Asma’ binti Abu Bakar ra, beliau berkata, ‘Ibuku datang kepadaku, dan dia masih seorang yang musyrik pada zaman Rasulullah SAW. Lalu aku bertanya pada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, ibuku datang kepada mengharapkan sesuatu dari ku, apakah aku harus berbuat baik kepadanya, sedangkan ia masih musyrik? Rasulullah SAW menjawab, ya, berbuat baiklah kepadanya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Beginilah Islam memperlakukan orang tua, meskipun orang tua kita berada dalam agama lain yang bukan Islam. Namun Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepadanya. Meskipun demikian, Islam tetap memiliki rambu-rambu dalam berbuat baik kepada orang tua yang tidak muslim. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 31 : 15)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengkuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”

4. Tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.
Selain memerintahkan untuk berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga melarang kita untuk berbuat durhaka kepada orang tua. Karena durhaka terhadap orang tua merupakan dosa terbesar dalam Islam, setelah menyekutukan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا. قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ : الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ" (متفق عليه)
Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Maukah kalian aku beritahu tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu wahai Rasulullah SAW.” Beliau berkata, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (Mutafaqun Alaih)

5. Mendahulukan ibu, kemudian ayah.
Bagaimanapun juga, seorang ibu lebih memiliki peran yang besar dalam diri kita. Ibu kitalah yang telah mengandung kita selama sembilan bulan, melahirkan kita dengan susah payah, membesarkan, merawat dan mendidik kita hingga dewasa seperti saat ini. Meskipun dalam hal tersebut peran bapak juga besar, namun tidak sedominan peranan ibu. Oleh karena itulah, Islam menjadikan berbakti kepada ibu, lebih prioritas dibandingkan dengan berbakti kepada bapak. Dalam sebuah riwayat dikemukakan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ" (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada rasulullah SAW, lalu bertanya, wahai rasulullah, siapakan orang yang paling berhak aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab ibumu. Kemudian ia bertanya lagi, lalu siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, bapakmu. (Mutafaqun Alaih)

6. Berbuat baik terhadap orang yang dicintai orang tua.
Sekiranya pun orang tua kita telah tiada, kita masih memiliki kewajiban sekaligus menunjukkan etika kita kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang dicintai orang tua kita, apakah famili, kerabat, teman dan lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat digambarkan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبَرُّ الْبِرَّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik perbuatan baik terhadap orang tua adalah mernyambung persaudaraan terhadap orang-orang yang cintai orang tuanya.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, digambarkan :

سَأَلَ رَجَلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا؟ قَالَ نَعَمْ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ: الدُّعَاءُ لَهُمَا وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْقَاذُ عَهْدِهِمَا، وَإِكْرَامِ صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلاَّ مِنْ قِبَلِهِمَا (أخرجه البخاري في الأدب المغرد)
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, apakah masih tersisa kewajibanku untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, apakah aku masih harus berbakti kepada keduanya? Rasulullah SAW menjawab, Ya. Ada empat hal yang harus dilakukan: Mendoakan dan memohon ampunkan bagi keduanya, merealisasikan janji/ keinginan mereka berdua, memuliakan teman-teman mereka berdua dan menyambung tali persaudaraan yang engkau tidak memiliki hubungan lagi dengan mereka kecuali melalui kedua orang tuamu. (HR. Bukhari dalam Adab Mufrad)

7. Diantara cara berbuat baik terhadap orang tua.
Pada dasarnya, dalam kondisi apapun juga, kita diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW untuk selalu berbuat baik kepada orang tua dan menghormatinya dengan penghormatan yang mulia. Berikut merupakan beberapa hal yang posisitf yang seyogyanya dilakukan seorang muslim:
a) Berdiri untuk menyambutnya, menakala mereka tiba di tempat kita berada.
b) Mencium tangan kedua orang tua, ketika akan pergi atau tiba dari orang tua.
c) Mengecilkan volume suara kita dihadapan orang tua kita, sebagai penghormatan terhadapnya.
d) Senantiasa berusaha menyenangkan hati keduanya.
e) Menggunakan cara dan bahasa yang lembut ketika berbicara pada keduanya.
f) Tidak menampakkan sikap negatif dari diri kita, manakala kita mendapatkan hal yang kurang menyenangkan yang berasal dari orang tua kita.

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Kerabat Keluarganya

Sebagai seorang muslim, kita juga memiliki etika sekaligus kewajiban terhadap kerabat keluarga kita, dengan berbuat ihsan terhadap mereka. Karena berbuat baik, dalam Islam tidak hanya ditujukan kepada orang tua saja. Namun lebih jauh dari itu, terhadap seluruh kerabat keluarga kita secara keseluruhan.

Kerabat keluarga adalah mereka-mereka yang jika ditinjau dari segi nasab keturunan, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan kita. Baik yang satu ahli waris, atau pun yang diluar ahli waris. Dan ternyata Islam memiliki perhatian yang cukup besar dalam masalah hubungan seseorang dengan kerabat keluarganya. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 4 : 36)

وَاعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَاِلدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبىَ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ*
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepad dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga0banggakan diri.

Dalam ayat di atas, Allah menjadikan urutan berbuat baik kepada kerabat, setelah keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan betapa berbuat baik dan menyambung tali persaudaraan terhadap kerabat merupakan hal yang sangat penting. Dalam hadits Rasulullah SAW mengatakan:

عَنْ أَبِي أَيُّوْبِ اْلأَنْصَارِي أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصِلَ الرَّحِمَ (متفق عليه)
Dari Abu Ayub al-Anshari ra, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, beritahukan padaku akan amalan yang dapat memasukkan ku ke dalam surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Menyembah Allah dan menyekutukannya pada apapun juga, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung tali persaudaraan. (Mutafaqun Alaih)

Oleh karena itulah, seorang muslim juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap kerabat keluarganya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

Diantara akhak terhadap kerabat keluarga adalah:

1. Larangan untuk memutuskan tali persaudaraan.
Di samping memerintahkan untuk menyambung persaudaraan terhadap kerabat keluarga, Islam juga secara tegas memberikan larangan untuk memutuskan tali persaudaraan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan persaudaraan.’ (Muttafaqun Alaih)

2. Seorang muslim menyambung tali persaudaraan berdasarkan petunjuk Islam.
Karena seorang muslim yang baik, ia akan senantiasa menyambung tali persaudaraan terhadap siapapun, apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan. Namun dalam menyambung tali persaudaraan tersebut, haruslah dengan memberikan skala prioritas dalam berbuat baik kepada mereka. Pertama-tama harus dimulai dari yang terdekat, kemudian yang dekat. Dalam hal ini dimulai dari ibu, bapak, baru kerabat terdekat lainnya.
Disamping itu menyambung tali persaudaraan kepada mereka, dengan tujuan meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah . Sehingga manakala kita melihat adanya faktor yang justru ‘membahayakan’ keimanan kita, maka kita perlu memberikan batasan dalam menyambung tali persaudaraan tersebut.

3. Menyambung tali persaudaraan, meskipun terhadap kerabat yang bukan muslim.
Karena pada hakekatnya mereka secara nasab, masih memiliki hubungan dengan kita. Oleh karena itulah, kita diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُوْلُ "إِنَّ آل أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِي، إِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أَبُلُّهَا بِبِلاَلِهَا (متفق عليه)
Dari Abdillah bin Amru bin Ash ra, aku mendengar Rasulullah SAW dengan suara keras, tidak dengan suara pelan bersabda: “Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukanlah termasuk ‘penolongku’. Karena penplongku hanyalah Allah dan kaum muslimin yang shaleh. Namun terhadap mereka aku memiliki kekerabatan yang aku menyambung tali persaudaraan dengan berbuat baik yang layak terhadap mereka. (Mutafaqun Alaih)

4. Memahami hakekat silaturahim dengan makna yang lebih luas
Dalam artian bahwa menyambung silaturahim dengan seluruh kerabat keluarga kita, tidak hanya dalam skup materi saja, namun juga harus dalam hal-hal yang lebih luas dari sekedar materi, seperti dengan silaturahim mengunjungi rumahnya, mempererat hubungan dengan memperdalam rasa cinta, saling memberikan nasehat, ungkapan-ungkapan yang baik, dan dalam hal-hal positif lainnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُلُّوْا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ (رواه البزار)
Dari ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda “Berbuat baiklah terhadap kerabat kalian, walaupun sekedar mengucapkan salam.” (HR. Al-Bazar)

5. Menyambung tali persaudaraan, sekalipun terhadap kerabat yang tidak mau menyambungnya.
Sebagai manusia biasa, terkadang terhadap kerabat keluarga sekalipun dapat terjadi perselisihan yang mengakibatkan retaknya hubungan. Bahkan tidak jarang, sikap satu pihak terhadap pihak yang lainnya cenderung untuk tidak menegur, tidak menyapa dan tidak mau menyambung lagi tali persaudaraannya. Namun sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai rahmat, Islam melarang seseorang untuk berbuat seperti itu. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا (رواه البخاري)
Rasulullah SAW besabda, Bukanlah orang yang (dinamakan) menyambung persaudaraan dengan berupa balasan (menyambung jika kerabat kita menyambungnya). Namun orang yang menyambung persaudaraan adalah yang senantiasa menyambungnya meskipun mereka memutuskan persaudaraannya. (HR. Bukhari)

Akhlak Seorang Muslim Terhadap Tetangga & Masyarakatnya.

Tetangga dan masyarakat sekitar tempat kita tinggal merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang terdekat dengan kehidupan kita. Keberadaan mereka merupakan sesuatu yang sangat penting, apalagi manakala kita mencoba merenungkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial. Karena Islam sangat memperhatikan masalah sosial, serta menjadikan kehidupan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran-ajarannya. Oleh karena itulah, kita akan banyak menemukan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, ajaran-ajaran yang sangat bersinggungan dengan masalah sosial.

Berikut adalah beberapa etika seorang muslim terhadap masyarakat dan tetangganya, diantaranya adalah:

1. Memuliakan tetangganya.
Islam bahkan menjadikan ‘memulian’ tetangga sebagai salah satu syarat untuk dapat mewjujudkan ‘kesempurnaan iman’. Karena orang muslim yang memiliki kesempurnaan iman, segala perbuatannya akan mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dalam dirinya, termasuk diantaranya adalah memuliakan tetangganya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bertutur kata yang baik atau hendaknya ia diam. (Mutafaqun Alaih)

2. Pemaaf dan pemurah terhadap tetangga.
Tetangga kita adalah juga merupakan manusia biasa biasa yang terkadang berbuat kesalahan terhadap kita. Namun sebagai seorang muslim yang baik yang memahami hal ini, akan memiliki rasa pemaaf dan pemurah terhadap mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشْبَةً فِيْ جِدَارِهِ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, hendaklah seseorang jangan melarang tetangganya ketika menancapkan sepotong kayu pada dinding (rumahnya) (Mutafaqun Alaih)

3. Mencintai mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
Bahkan hal ini sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan terhadap siapapun yang masih memiliki ikatan akidah yang sama. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق عليه)
Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (Mutafaqun Alaih)

Dan salah satu bentuk kecintaan kita kepada mereka adalah dengan memiliki kepedulian terhadap sesuatu yang menimpa mereka. Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak beriman seseorang kepadaku, siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangga yang berada di sisinya kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut. (HR. Tabrani)

4. Berbuat baik kepada tetangga, baik yang muslim atau yang non muslim.
Kendatipun tetangga kita ada yang bukan muslim, namun kita masih memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan, bahwa Abdullah bin Amru bin Ash suatu ketika menyembelih seokor kambing, lalu memberikannya pada tetangganya yang Yahudi. Ketika ditanya, beliau menjawab aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bahwa Jibril senantiasa memberikan wasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengiranya bahwa beliau akan memberikan warisan kepada tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim)

5. Memprioritaskan perbuatan ihsan, terhadap yang terdekat kemudian yang dekat.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah ra ketika bertanya kepada Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِى؟ قَالَ إِلَى أَقْرَبُهُمَا مِنْكِ بَابَا" (رواه البخاري)
Dari Aisyah ra, beliau bertanya kepada rasulullah SAW, ‘Wahai rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada yang manakah aku mengirimkan hadiah? Rasulullah menjawab, kepada yang paling dekat pintunya dari umahmu. (HR. Bukhari)

6. Muslim terbaik adalah yang terbaik bagi tetangganya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan :

خَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ (رواه البخاري في الأدب المفرد)
Sebaik-baik tetangga di sisi Allah, adalah sebaik-baik mereka bagi tetangganya. (HR. Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)

7. Tetangga yang buruk.
Islam bahkan melarang seseorang untuk menjadi tetangga yang tidak baik bagi tetangganya yang lain. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan sebagai seseorang yagn tidak beriman kepada Allah. Rasulullah SAW mengatakan:

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (متفق عليه)
Rasulullah bersabda “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”, kemudian ditanyakan siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab, yang tidak memberikan rasa aman pada tetangganya dari kejelekan-kejelekan dirinya.” (Mutafaqun Alaih)

8. Menjaga untuk tidak terjerumus pada perbuatan salah terhadap tetangganya.
Karena kesalahan yang paling besar adalah kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap tetangganya. Dalam sebuah hadits disebutkan

لِأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرَ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ (رواه أحمد)
Rasulullah bersabda, bahwa zinanya seseorang terhadap sepuluh wanita, itu lebih ringan dari pada zinanya seseorang terhadap wanita tetangganya. (HR. Ahmad)

9. Sabar terhadap keburukan tetangga dan masyarakatnya.
Karena bagaimanapun juga, tidak semua orang memiliki sifat yang baik. Adakalanya kita harus berhadapan dengan tetangga yang buruk perangainya, atau senantiasa berbuat kemaksiatan kepada Allah. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيْصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصبِرُ عَلَى آذَاهُمْ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mu’min yang berinteraksi dengan masyarakatnya dan bersabar atas keburukan mereka, lebih baik daripada seorang mu’min yang tidak berinteraksi dengan mereka serta tidak sabar atas keburukan mereka. (HR. Tabrani)

10. Tidak membalas kejelekan tetangganya dengan yang serupa
Karena pada dasarnya Islam tidak mengizinkan untuk berbuat buruk kepada orang yang juga berbuat buruk kepada kita. Kita justru diminta untuk senantiasa tetap berbuat baik kepada mereka meskipun mereka terkadang tidak baik terhadap kita. Dalam sebuah hadits digambarkan:

أَتَى مُحَمَّدٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ، فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آذَانِيْ جَارِيْ فَقَالَ اعْمِدْ إِلَى مَتَاعِكَ فَاقْذِفْهُ فِي السَّكَّةِ فَإِذَا أَتَى عَلَيْكَ آتٍ فَقُلْ آذَانِي جَارِيْ، فَتَحَقَّقُ عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ"
Suatu ketika Abdullah bin Salam ra mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, wahai rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku. Rasulullah SAW bersabda, bersabarlah. Kemudian beliau pulang, lalu kembali pada Rasulullah SAW untuk kedua kalinya dan berkata, wahai Rasulullah SAW. Tetanggaku menuyakitiku. Rasulullah SAW menjawab, bersabarlah. Kemudian ia pulang lalu kembali mendatangi Rasulullah SAW untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, wahai Rasulullah SAW, tetanggaku menyakitiku. Beliau menjawab, kalau demikian peganglah barang-barangmu, lalu lemparkan ke jalan. Dan apabila ada seseorang yang mendatagimu, katakalnlah (bahwa hal ini dilakukan) karena tetanggaku menyakitiku, hingga ia akan mendapatkan laknat. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetagganya.
(Hayatus Shahabah III/50)

Penutup

Pada dasarnya, ketika kita ingin mengupas secara lebih teliti mengenai etika atau akhlak dalam Islam, kita akan mendapatkan, betapa Islam merupakan agama yang penuh dengan nilai-nilai budi pekerti yang mulia. Karena memang Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk memperbaiki tatanan moralitas yang telah rusak yang terjadi pada masyarakat dunia. Rasulullah SAW sendiri mengatakan bahwa beliau diutus dalam rangka untuk memperbaiki budi pekerti atau akhlak masyarakat dunia, dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik. Adapun gambaran mengenai akhlak dan etika di atas, barulah merupakan sekelumit ajaran Islam mengenai tatacara berakhlak, baik terhadap Allah ataupun terhadap manusia lainnya.

Namun ketika kita mempelajari akhlak islami, bukanlah semata-mata hanya sebagai bahan atau obyek dalam bidang keilmuan. Namun lebih dari itu, bahwa akhlak haruslah merupakan sesuatu yang mengakar dan tertancap dalam jiwa setiap muslim. Sehingga dimanapun ia berada, senantiasa mencerminkan sebagai seorang muslim sejati, kendatipun ia hidup ditengah-tengah masyarakat jahiliyah.

Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.




Bahan Bacaan

Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. Al-Mu’jam Al-Mufahras fi Al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim. 1987 – 1407 : Beirut – Libanon : Dar Al-Fikir.

Hadiri, Choiruddin. Klaifikasi Kandungan Al-Qur’an. 1996. Cet. V. Jakarta – Indonesia : Gema Insani Press.

Al-Hasyimi, Muhammad Ali. Syakhsiyatul Muslim; Kama Yashughuha al-Islam fi al-Kitab wa al-Sunnah. 1993 – 1414. Cet. V. Beirut : Dar al-Basya’ir Al-Islamiyah.

CD ROM. Al-Maktabah Al-Alfiyah Li Al-Sunnah Al-Nabawiyah. Versi 1.5. 1999 – 1419. Yordan : Al-Turats ; Al-Markaz Li Abhasts Al-Hasib Al-Ali.